SIAPAPUN yang memerhatikan media Iran, mungkin akan merasa bingung melihat kenyataan bahwa Arab Saudi telah memutuskan hubungan diplomatik dengan negara Syiah tersebut. Kenapa?
Eksekusi maut Saudi terhadap Nimr al Nimr yang beraliran Syiah sudah membuat gonjang-ganjing kedua negara. Merasa tidak terima dan dilecehkan, Iran, dengan cepat mengutuk kebijakan negara minyak petrodollar tersebut.
Beberapa media seperti Kayhan, yang terkenal kerap mengekspresikan pandangan “agung,” terhadap Ayatollah Ali Khamenei, dan kantor beritaFARS, yang dikendalikan oleh Pengawal Revolusi, benar-benar menyambut baik keputusan Saudi. Media-media ini percaya jika Iran memutuskan hubungan dengan Saudi, maka itu adalah keputusan terbaik.
Sedangkan di sisi lain, Sharq misalnya—surat kabar harian milik pemerintah Iran—memutuskan hubungan dengan Saudi bisa mengancam masa depan Iran itu sendiri. Surat kabar yang dekat dengan faksi yang dipimpin oleh mantan Presiden Ayatollah Hashemi Rafsanjani ini telah menyatakan penyesalannya tentang pemutusan hubungan diplomatik dengan Saudi.
Baca
artikel selengkapnya di SYIAH
INDONESIA tafhadol
Media ini juga mengkritik massa yang menyerang Kedutaan Besar di Teheran dan konsulat Saudi di Mashhad.
Sementara kelompok Presiden Hassan Rohani justru melakukan tindakan yang berlawanan. Ayatullah Khamenei, sang pemimpin besar Iran itu dan komandan militernya telah mengambil langkah yang bisa saja merugikan pihaknya sendiri. Mereka mempertajam serangan terhadap Saudi dan 5 negara Muslim lainnya yang telah memutuskan atau menurunkan hubungan mereka dengan Teheran.
Sebenarnya, tindakan Iran dalam melakukan teror terhadap konsulat dan kedubes negara yang tengah bermasalah dengannya, bukanlah barang baru. Adapun, insiden penyerangan terhadap konsulat Saudi jelas memunculkan bayang-bayang ‘skizofrenia‘yang ditengarai telah diidap oleh Iran secara akut sejak mullah kelompok revolusi merebut kekuasaan pada tahun 1979 di negeri sendiri. Kenapa Iran mengidap skizofrenia?
Skizofrenia, atau gangguan proses berpikir, memang lekat dengan Iran. Setidaknya, ada dua kelompok di negeri ini, salah satunya adalah kelompok yang menahbiskan dirinya sendiri sebagai kendaraan untuk kemajuan revolusi Khomeini. Sedangkan satunya lagi adalah mereka yang berharap bisa bergaul dengan masyarakat internasional sebagai sebuah bangsa dan negara.
Setelah sekian tahun, sebenarnya, insiden kali ini adalah pertama kalinya lagi pendukung Iran kembali berani menyerang kedutaan asing. Bahkan hal ini disebut sebagai tindakan heroik yang dirancang untuk menggembleng “massa revolusioner.” Bayangkan, massa pro-Khomeini yang benar-benar ikut dalam revolusi pada 4 November 1979, berani menyerang dan menduduki Kedutaan Besar AS di Teheran dan menyandera diplomat negara Paman Sam itu selama 444 hari.
Hari itu dianggap salah satu tanggal paling keramat dalam sejarah rezim Khomeini. Ditandai dengan perayaan yang digelar Iran serta menghadiri upacara pembakaran bendera dan patung presiden AS. Bagi Iran, menyerang hubungan diplomatik menjadi taktik favorit rezim Khomeini. Padahal, saat itu Jimmy Carter—sang Presiden AS—justru memutuskan menerima penghinaan dari Iran dan menenangkan para mullah dengan mengirimkan pesan yang ditulis tangan untuk menyanjung Khomeini.
Atas tindakan AS ini, pemerintah Iran menyimpulkan bahwa AS tak bisa berbuat apa-apa! Harap dicatat, sejak tahun 1979, para mullah menahan beberapa sandera asing, sebagian besar warga AS. Bahkan sampai sekarang mereka masih menahan 6 sandera AS.
Hari ini, beberapa anggota administrasi Rouhani adalah mantan penahan sandera, termasuk menteri pertahanan, kepala penasihat politik, dan asisten khusus badan lingkungan Iran. Alih-alih menginap di hotel prodeo, mereka justru malah berada di posisi penting pemerintahan.
Dalam kampanye pemilu Iran, termasuk yang sekarang, kandidat yang disebutkan telah menyerang kedutaan negara AS dan menahan para sandera sebagai prestasi besar di negara mereka. Tanpa sadar, mereka telah mengabaikan aturan hukum, baik domestik maupun internasional. Khomeini dan para penerusnya seolah meniru Lenin. Dalam pamflet kampanyenya “Negara dan Revolusi”, Lenin menegaskan bahwa revolusi tidak bisa mematuhi undang-undang yang dikeluarkan oleh negara atau kelompok negara. “Revolusi membuat hukum sendiri,” ungkap Lenin.
Namun, saat datang misi diplomatik dari negara asing, Lenin tak berbuat sejauh para mullah. Selaku Komisaris Luar Negeri Uni Soviet—sekarang sudah berubah jadi Rusia, Trotsky pernah menerbitkan dokumen-dokumen rahasia dari kementerian luar negeri era Lenin. Di dalamnya tidak ditemukan bukti bahwa militan Bolshevik berani menyerang kedutaan asing, apalagi menjarah atau sampai menyandera diplomat negara lain.
Nah, adakah kesamaan Lenin dan Khomeini sekarang ini? []
Post A Comment:
0 comments: