SEJARAH SYIAH
Selama ini, mayoritas orang selalu menganggap Syiah bagian dari Islam. Mayoritas kaum muslimin di seluruh dunia sendiri menilai bahwa menentukan sikap terhadap Syi’ah adalah sesuatu yang sulit dan membingungkan. Ini disebabkan beberapa hal mendasar yaitu kurangnya informasi tentang Syi’ah. Syi’ah, di kalangan mayoritas kaum muslimin adalah eksistensi yang tidak jelas, tidak diketahui apa hakikatnya, bagaimana berkembang, tidak melihat bagaimana sejarahnya, dan tidak dapat diprediksi bagaimana di kemudian hari. Berangkat dari hal-hal tersebut, akhirnya orang Islam yang umum meyakini Syi’ah tak lain hanyalah salah satu mazhab Islam, seperti mazhab Syafi’i, Maliki dan sejenisnya.
Tapi sesungguhnya ada perbedaan antara Syiah dan Islam. Bisa dikatakan, Islam dengan Syiah serupa tapi tak sama. Secara fisik, sulit sekali membedakan antara penganut Islam dengan Syiah, namun jika diteliti lebih jauh dan lebih mendalam lagi—terutama dari segi aqidah—perbedaan di antara Islam dan Syiah sangatlah besar. Ibaratnya, Islam dan Syiah seperti minyak dan air, hingga tak mungkin bisa disatukan.
Asal-usul Syi’ah
Syi’ah secara etimologi bahasa berarti pengikut, sekte dan golongan seseorang. Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang berkedok dengan slogan kecintaan kepada Ali bin Abi Thalib beserta anak cucunya bahwasanya Ali bin Abi Thalib lebih utama dari seluruh shahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm). Sedang dalam istilah syara’, Syi’ah adalah suatu aliran yang timbul sejak masa pemerintahan Utsman bin Affan yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba’ Al-Himyari.
Abdullah bi Saba’ mengenalkan ajarannya secara terang-terangan dan menggalang massa untuk memproklamasikan bahwa kepemimpinan (imamah) sesudah Nabi Muhammad saw seharusnya jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib karena suatu nash (teks) Nabi saw. Menurut Abdullah bin Saba’, Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman telah mengambil alih kedudukan tersebut. Dalam Majmu’ Fatawa, 4/435, Abdullah bi Shaba menampakkan sikap ekstrem di dalam memuliakan Ali, dengan suatu slogan bahwa Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa).
Keyakinan itu berkembang terus-menerus dari waktu ke waktu, sampai kepada menuhankan Ali bin Abi Thalib. Berhubung hal itu suatu kebohongan, maka diambil suatu tindakan oleh Ali bin Abi Thalib, yaitu mereka dibakar, lalu sebagian dari mereka melarikan diri ke Madain.
Pada periode abad pertama Hijriah, aliran Syi’ah belum menjelma menjadi aliran yang solid. Barulah pada abad kedua Hijriah, perkembangan Syiah sangat pesat bahkan mulai menjadi mainstream tersendiri. Pada waktu-waktu berikutnya, Syiah bahkan menjadi semacam keyakinan yang menjadi trend di kalangan generasi muda Islam: mengklaim menjadi tokoh pembaharu Islam, namun banyak dari pemikiran dan prinsip dasar keyakinan ini yang tidak sejalan dengan Islam itu sendiri.
Perkembangan Syiah
Bertahun-tahun lamanya gerakan Syiah hanya berputar di Iran, rumah dan kiblat utama Syiah. Namun sejak tahun 1979, persis ketika revolusi Iran meletus dan negeri ini dipimpin oleh Ayatullah Khomeini dengan cara menumbangkan rejim Syah Reza Pahlevi, Syiah merembes ke berbagai penjuru dunia. Kelompok-kelompok yang mengarah kepada gerakan Syi’ah seperti yang terjadi di Iran, marak dan muncul di mana-mana.
Perkembangan Syi’ah, yaitu gerakan yang mengatasnamakan madzhab Ahlul Bait ini memang cukup pesat, terlebih di kalangan masyarakat yang umumnya adalah awam dalam soal keagamaan, menjadi lahan empuk bagi gerakan-gerakan aliran sempalan untuk menggaet mereka menjadi sebuah komunitas, kelompok dan jama’ahnya.
Doktrin Taqiyah
Untuk menghalangi perkembangan Syi’ah sangatlah sulit. Hal itu dikarenakan Syi’ah membuat doktrin dan ajaran yang disebut “taqiya.” Apa itu taqiyah? Taqiyah adalah konsep Syiah dimana mereka diperbolehkan memutarbalikkan fakta (berbohong) untuk menutupi kesesatannya dan mengutarakan sesuatu yang tidak diyakininya. Konsep taqiya ini diambil dari riwayat Imam Abu Ja’far Ash-Shadiq a.s., beliau berkata: “Taqiyah adalah agamaku dan agama bapak-bapakku. Seseorang tidak dianggap beragama bila tidak bertaqiyah.” (Al-Kaafi, jus II, h. 219).
Jadi sudah jelas bahwa Syi’ah mewajibkan konsep taqiyah kepada pengikutnya. Seorang Syi’ah wajib bertaqiyah di depan siapa saja, baik orang mukmin yang bukan alirannya maupun orang kafir atau ketika kalah beradu argumentasi, terancam keselamatannya serta di saat dalam kondisi minoritas. Dalam keadaan minoritas dan terpojok, para tokoh Syi’ah memerintahkan untuk meningkatkan taqiyah kepada pengikutnya agar menyatu dengan kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, berangkat Jum’at di masjidnya dan tidak menampakkan permusuhan. Inilah kecanggihan dan kemujaraban konsep taqiyah, sehingga sangat sulit untuk melacak apalagi membendung gerakan mereka.
Padahal, arti taqiyah menurut pemahaman para ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah berdasar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, taqiyah tidaklah wajib hukumnya, melainkan mubah, itupun dalam kondisi ketika menghadapi kaum musrikin demi menjaga keselamatan jiwanya dari siksaan yang akan menimpanya, atau dipaksa untuk kafir dan taqiyah ini merupakan pilihan terakhir karena tidak ada jalan lain.
Doktrin taqiyah dalam ajaran Syi’ah merupakan strategi yang sangat hebat untuk mengembangkan pahamnya, serta untuk menghadapi kalangan Ahli Sunnah, hingga sangat sukar untuk diketahui gerakan mereka dan kesesatannya.
Kesesatan-kesesatan Syiah
Di kalangan Syiah, terkenal klaim 12 Imam atau sering pula disebut “Ahlul Bait” Rasulullah Muhammad saw; penganutnya mendakwa hanya dirinya atau golongannya yang mencintai dan mengikuti Ahlul Bait. Klaim ini tentu saja ampuh dalam mengelabui kaum Ahli Sunnah, yang dalam ajaran agamanya, diperintahkan untuk mencintai dan menjungjung tinggi Ahlul Bait. Padahal para imam Ahlul Bait berlepas diri dari tuduhan dan anggapan mereka. Tokoh-tokoh Ahlul Bait (Alawiyyin) bahkan sangat gigih dalam memerangi faham Syi’ah, seperti mantan Mufti Kerajaan Johor Bahru, Sayyid Alwi bin Thahir Al-Haddad, dalam bukunya “Uqud Al-Almas.”
Adapun beberapa kesesatan Syiah yang telah nyata adalah:
  1. Keyakinan bahwa Imam sesudah Rasulullah saw. Adalah Ali bin Abi Thalib, sesuai dengan sabda Nabi saw. Karena itu para Khalifah dituduh merampok kepemimpinan dari tangan Ali bin Abi Thalib r.a.
  2. Keyakinan bahwa Imam mereka maksum (terjaga dari salah dan dosa).
  3. Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para Imam yang telah wafat akan hidup kembali sebelum hari kiamat untuk membalas dendam kepada lawan-lawannya, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah dll.
  4. Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para Imam mengetahui rahasia ghaib, baik yang lalu maupun yang akan datang. Ini berarti sama dengan menuhankan Ali dan Imam.
  5. Keyakinan tentang ketuhanan Ali bin Abi Thalib yang dideklarasikan oleh para pengikut Abdullah bin Saba’ dan akhirnya mereka dihukum bakar oleh Ali bin Abi Thalib sendiri karena keyakinan tersebut.
  6. Keyakinan mengutamakan Ali bin Abi Thalib atas Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Padahal Ali sendiri mengambil tindakan hukum cambuk 80 kali terhadap orang yang meyakini kebohongan tersebut.
  7. Keyakinan mencaci maki ara sahabat atau sebagian sahabat seperti Utsman bin Affan (lihat Dirasat fil Ahwaa’ wal Firaq wal Bida’ wa Mauqifus Salaf minhaa, Dr. Nashir bin Abd. Karim Al Aql, hal.237).
  8. Pada abad kedua Hijriah perkembangan keyakinan Syi’ah semakin menjadi-jadi sebagai aliran yang mempunyai berbagai perangkat keyakinan baku dan terus berkembang sampai berdirinya dinasti Fathimiyyah di Mesir dan dinasti Sofawiyyah di Iran. Terakhir aliran tersebut terangkat kembali dengan revolusi Khomaeni dan dijadikan sebagai aliran resmi negara Iran sejak 1979.
Saat ini figur-figur Syiah begitu terkenal dan banyak dikagumi oleh generasi muda Islam, karena pemikiran-pemikiran yang lebih banyak mengutamakan kajian logika dan filsafat. Namun, semua jamaah Sunnah wal Jamaah di seluruh dunia, sudah bersepakat adanya bahwa Syiah adalah salah satu gerakan sesat. (sa/berbagaisumber)
Rujukan:
  1. Dr. Nashir bin Abd. Karim Al Aql, “Dirasat fil Ahwaa’ wal firaq wal Bida’ wa Mauqifus Salaf minha.”
  2. Drs. KH. Dawam Anwar dkk. “Mengapa kita menolak Syi’ah.
  3. Abdullah bin Said Al Junaid, “Perbandingan antara Sunnah dan Syi’ah. 
  4. Dan lain-lain, kitab-kitab karangan orang Syi’ah.
  5. Beberapa situs dan blog pribadi
Next
Syiahisasi dan Stigma Wahabi SYIAH DI INDONESIA : Hakikatnya, teori syiahisasi dengan menggunakan istilah ‘Wahhabi’ adalah untuk menyatukan aliran gelombang penolakan terhadap mereka yang anti Syiah Oleh: Ilham Kadir   BEBERAPA waktu lalu, tepatnya pada tanggal 8 Oktober 2016 telah diadakan pertemuan dan diskusi antara anggota civitas akademika yang berpaham, beraliran, dan penyebar ajaran Syiah. Acara tersebut dihadiri tokoh Syiah, Dr. Haidar Bagir sebagai narasumber, berlangsung di Auditorium Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra, Jl. Lebak Bulus-II, No. 2, Cilandak, Jakarta Selatan. Ada juga pertemuan lain di tempat  berbeda bersama Ayatullah Qumi, Wakil Rahbar dalam urusan Luar Negeri, dan juga Ayatullah Majid Hakimullahi, Kandidat Direktur ICC Jakarta. Dalam dua pertemuan di atas, yang menarik adalah pertemuan yang berlangsung di STFI Sadra, diisi oleh Haidar Bagir dan kawan-kawan. Menarik karena berhasil menemukan sebuah teori ‘Syiahisasi Indonesia’ atau metode dan rumus-rumus jitu dalam melakukan penyebaran ajaran sesat Syiah di tanah air. Mereka telah melakukan kajian, penelitian, dan pengamatan terhadap ummat Islam Indonesia, dan kesimpulannya adalah segenap kaum muslimin yang berada di bumi Indonesia, secara umum terbagi menjadi tiga bagian yaitu: 1) Wahhabi; 2) Jahhali; dan 3) Oportunis. Untuk mengetahui lebih dalam, mari kita cerna ketiga golongan di atas. Pertama. Bagi penganut Syiah, yang dimaksud dengan golongan Wahhabi adalah seluruh ummat Islam Indonesia yang tidak sejalan dan searah tujuan dengan ajaran mereka. Dalam konteks ini, Wahhabi tidak lagi diidentikkan dengan golongan Wahhabiyah, atau Wahhabiyun yang merujuk kepada paham atau ajaran dakwah yang dipelopori oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Tamimi al-Najdi. Artinya, Wahhabi dalam pandangan Syiah jauh lebih luas ketimbang Wahhabi yang selama ini dikenal luas oleh masyarakat musilm Nusantara yang mayoritas merujuk kepada tata cara beribadah ummat Islam di Saudi Arabia, dan biasanya didakwahkan oleh alumni-alumni Timur Tengah, aliran ini umumnya merujuk kepada mazhab fikih Imam Ahmad Bin Hanbal yang dikenal dengan Mazhab Hanbali. Hakikatnya, teori syiahisasi dengan menggunakan istilah ‘Wahhabi’ adalah untuk menyatukan aliran gelombang penolakan terhadap mereka yang anti Syiah. Sebab, menurut mereka hanya golongan Wahhabi yang benar-benar memahami ajaran agamanya dengan baik dan benar sehingga sangat sulit dan bahkan mustahil untuk disyiahkan. Ajaran dimaksud adalah akidah yang benar dan diridhai Allah, Ahlussunnah wal Jamaah. Teori Wahhabi juga sangat efisien menurut Syiah, sebab adanya pemetaan dan klasifikasi pengikut Ahlussunnah di Indonesia akan memudahkan kerja-kerja sistematis mereka untuk mengobarkan propaganda sekaligus sebagai efisiensi dakwah. Dengan propaganda Wahhabi sehingga semua pengikut mazhab Syafi’iyah sebagai anutan mayoritas masyarakat muslim Indonesia menjadi anti Wahhabi dan berbalik mendukung Syiah. Efisien sebab bagi mereka, golonga Wahhabi tidak ada gunanya diajak masuk Syiah, dengan alasan apa pun, golongan ini akan terus menolak Syiah, dan, atau bahkan mengobarkan perlawanan terhadap Syiah, dan tidak segan-segan menggadaikan nyawa demi untuk membela kebenaran yang mereka yakini. Karena itu, mendakwahi para Wahhabi hanya akan menyia-nyiakan waktu, menghabiskan tenaga, buang-buang materi dan sangat tidak bermanfaat bahkan sama saja ‘bunuh diri’. Teori Wahhabi merupakan pukulan telak bagi mereka yang selama ini yang masih berada dalam ‘pagar’ Ahlussunnah wal Jamaah namun begitu getol menyerang Wahhabi sambil bersikap lunak terhadap Syiah, atau bahkan mendukung pergerakan mereka. Umumnya, perkataan dan pernyataan golongan ini kerap menghasilkan simpati. Seperti, ‘Wahhabi itu perusak persatuan dan kesatuan, mrongrong NKRI’, atau perkataan, ‘orang yang mempermasalahkan Syiah dan Sunni adalah mereka yang terlahir belakangan’, juga pernyataan, ‘Syiah dan Sunni itu satu tujuan, hanya beda kendaraan’, atau seperti ini, ‘Saya bukan Sunni bukan pula Syiah, tapi Islam’, dan semisalnya. Kedua. Teori ‘Jahhali’, jika ditilik dari sudut bahasa, tampak bahwa istilah itu berasal dari bahasa Arab, yaitu, ‘jahil’ yang berarti lawan dari ‘ilmu’, alias tidak mengetahui. Jahil adalah sebuah derajat yang paling terendah dalam hirarki keilmuan. Antara jahil dan berilmu terdapat kondisi yang disebut, al-syak, al-wahm, dan al-zhan. Intinya, kata ‘jahil’ adalah tidak mengetahui atau ‘adamul bisy-syai’. Namun, teori Jahhali bagi Syiah lebih umum dibanding jahil menurut pengertian bahasa dan istilah pada umumnya. Sebab, Jahhali di sini adalah golongan ulama, intelektual, kaum terpelajar, cerdik-pandai, politikus, tokoh masyarakat hingga aktivis kampus yang tidak mengetahui secara mendalam terhadap ajaran Islam, khususnya akidah Ahlussunnah wal Jamaah sehingga dengan mudah mereka disyiahkan. Selain itu, para Jahhali adalah golongan kelas menengah ke atas dalam hirarki keilmuan dan memiliki pengaruh yang besar di tengah masyarakat, dengan ‘menyeret’ mereka masuk dalam ‘pagar’ Syiah akan mempermudah penetrasi dan penyebaran aliran sesat itu di tengah masyarakat muslim Ahlussunnah wal Jamaah. Karena itu, para civitas akademika yang hadir dalam pertemuan di atas adalah berasal dari para Jahhali. Dan amat disayangkan karena mereka berasal dari para dosen yang mengajar di kampus-kampus ternama, termasuk  para Jahhali yang mewakili kampus-kampus ternama Makassar. Hakikatnya, teori Jahhali ini melecehkan para ulama dan golongan berilmu namun gagal paham terhadap ajaran agamanya, sehingga dengan mudah diperalat oleh penganut Syiah. Umumnya, agen Syiah ini menyamar sebagai agen pemersatu ummat, di sana-sini menekankan pentingnya persatuan, mereduksi perbedaan sehingga yang tampak hanyalah persamaan. Muncullah istilah-istilah ‘pokoknya Islam, tidak pandang Syiah atau Sunni’. Ketika para Jahhali tidak lagi mempersoalkan sekat antara Syiah dengan Ahlussunnah, maka dengan sendirinya mereka telah mendukung penyebaran Syiah. Yang terjadi, masuklah para Ayatullah ke masjid-masjid milik Ahlussunnah, tak terkecuali Masjid Istiqlal di Jakarta, dan Masjid Raya di Makassar. Berkat kerja-kerja sistematis agen Syiah yang menjahili para Jahhali dari golongan politisi dan ulama su’ sehingga Ayatullah berjubah, bersurban, berturban itu leluasa menyebarkan kesesatan di tengah masyarakat Ahlussunnah. Bahan jualannya itu-itu saja, dari Maroko hingga Merauke yaitu, ‘taqrib baen al-madzahib’ menyatukan dan mempererat antarmazhab, mereka ini ngotot untuk dimasukkan sebagai salah satu mazhab fikih, padahal yang berbeda bukan hanya sekadar fikih tapi akidah yang disebut ushul. Jika akidah berbeda, maka itu bukan mazhab akan tetapi sempalan alias menyempal dari rel yang benar. Jika dianalogikan dengan kereta api, maka rel yang benar adalah hanya milik Ahlussunnah wal Jamaah sedangkan milik Syiah berada pada rel yang salah sehingga tujuan akhir dalam beragama yaitu untuk meraih ridha dan surga Allah tidak akan pernah tercapai, bahkan mereka hanya akan mendapatkan murka dan neraka. Pengamat Sejarah: Politisasi Isu Wahabi Sebagai Pemecah Belah Umat Ketiga. Oportunis, golongan ini dipecah menjadi dua bagian. Oportunis intelek dan opurtunis fuqara-masakin. Yang pertama adalah golongan yang tidak mau peduli tentang agamanya, apakah Syiah atau Ahlussunnah, di mana pun jika menguntungkan akan ia dukung dan ikuti. Jika harus menjadi Syiah namun di sana akan mendapatkan materi dan kesejahteraan duniawi, maka ia pun akan menjadi Syiah, tapi jika harus menjadi Wahhabi lalu mendapat materi yang setimpal, dengan senang hati pun ia akan menjadi Wahhabi. Inilah yang kerap disentil oleh KH. Bachtiar Natsir sebagai intelek dan ulama yang imannya hanya setipis uang kertas. Oportunis kedua, adalah mereka yang berasal dari golongan fuqara dan masakin atawa fakir miskin yang juga imannya lebih tipis dari uang kertas. Pokoknya siapa pun yang dapat menyediakan makan dan fasilitas pada hari itu, maka ia  akan dukung dan bela hingga tetesan darah penghabisan. Teori Oportunis bagi Syiah laksana mengukir di atas air, tidak akan mendatangkan manfaat bagi penyebaran paham Syiah. Teori Maling Albert Einstein (1879-1955) pernah menyatakan bahwa seluruh manusia dilahirkan dengan jenius, hanya saja jika ukurannya ikan harus bisa memanjat, maka tidak akan pernah ada yang jenius. Maka, para pencuri pun orang jenius dan bekerja dengan teori-teori yang mereka ciptakan. Memang, ada saja yang gagal, tapi itu terjadi di luar kebiasaan umum dan prediksi. Pendapat yang mengatakan, ‘orang bodoh yang malas akan jadi pencuri dan orang pintar yang malas akan menjadi perampok’, tidak sepenuhnya benar, sebab para pencuri adalah manusia yang berbuat setelah melakukan kalkulasi untung-rugi dengan matang. Pencuri dimaksud adalah sama dengan sebutan ‘maling’. Dalam dunia ‘permalingan’ juga memiliki teori yang diadopsi oleh kaum Syiah yang memang mereka ini adalah para ‘maling akidah’. Teori maling tersebut adalah: Pertama. ‘Kaya dan aman’ atau golongan kaya yang hidupnya penuh dengan pengamanan. Mereka ini tidak segan-segan menggelontorkan 10 persen penghasilannya untuk menyewa pengaman mulai dari anjing galak, CCTV, alarm, Satpan, hingga Polisi dan Kopassus. Mengincar harta mereka sama saja dengan bunuh diri, dan akan mengakibatkan mati konyol. Kedua. ‘Kaya tanpa Pengaman’ atau golongan kelas menengah ke atas, alias kaya namun tidak memiliki pengaman seperti teori pertama. Biasanya golongan ini menyatu dengan masyarakat sekitar dan berpikiran konvensional seperti, daripada harus membayar ongkos sekuriti yang mahal lebih baik duit itu disedekahkan atau dipakai bayar zakat dan infak. Atau mereka kaya tapi bakhil sehingga tidak terpikir untuk membeli dan menyewa pangaman, golongan ini sangat mudah dan berpotensi disatroni maling. Ketiga. ‘Fakir-miskin’ atau golongan yang tidak ada manfaatnya bagi pencuri sebab tidak ada yang bisa dicuri. Rumah terbuka 24 jam sekalipun tidak mengundang para pencuri untuk masuk ke dalam, karena itu hanya mendatangkan kesia-siaan, bahkan membahayakan dirinya. Karena itu, Syiah hanya akan berusaha mati-matian menyebarkan paham sesatnya kepada para Jahhali sebagaimana para maling yang mengincar golongan kaya yang teledor tanpa pengaman. Dan, isu-isu Wahhabi yang selama ini dipakai Syiah untuk menyerang para Ahlusunnah hakikatnya adalah sebuah drama ‘sengkuni’ yang menggunakan tangan Ahlussunnah untuk ‘menempeleng’ Ahlussunnah lainnya, lalu penganut Syiah tertawa sambil bersorak. Terkuaknya ‘teori maling’ dalam syiahisasi Indonesia seharusnya menjadikan para pengikut Ahlussunnah baik secara personal atau kolektif, dan dari organisasi mana pun untuk solid, bersatu, membendung dan melawan penyebaran  Syiah di bumi Ahlussunnah. Sebab, jika aliran sesat ini terus melaju hanya akan melahirkan konflik horizontal yang menguras tenaga dan merugikan keutuhan bangsa Indonesia. Wallahu A’lam! Peneliti MIUMI Pusat; Kandidat Doktor Pendidikan Islam UIKA Bogor Rep: Admin Hidcom Sumber : hidayatullah.com – Kamis, 13 Oktober 2016 (nahimunkar.com) Baca selengkapnya Syiahisasi dan Stigma Wahabi
Previous
Sejarah Syiah Dua Belas Imam di Iran dan Perkembangan di Indonesia
Axact

Axact

Vestibulum bibendum felis sit amet dolor auctor molestie. In dignissim eget nibh id dapibus. Fusce et suscipit orci. Aliquam sit amet urna lorem. Duis eu imperdiet nunc, non imperdiet libero.

Post A Comment:

2 comments:

  1. preetttt...ga tau apa2 ajaa sok bahas ttg Syiah...ujung2nya fitnahh..cuihhh

    BalasHapus
  2. f200m adalah tempat Anda menemukan bocoran soal ujian CPNS 2024 serta pembahasan lengkap dan terbaru.

    BalasHapus