TAQIYAH, TOPENG KEMUNAFIKAN KAUM SYIAH
Oleh
Ustadz Abu Minhal
TAQIYAH, RUKUN AGAMA SYIAH
Akidah taqiyah termasuk akidah Syiah yang menyelisihi Islam. Akidah ini menempati kedudukan yang tinggi dalam agama mereka. Menurut mereka, para nabi dan rasul pun diperintahkan untuk melakukannya.
Ulama Syiah telah menjelaskan definisi taqiyah ini. al-Mufîd dalam Tash-hîhul I’tiqâd berkata: “Taqiyah adalah merahasiakan al-haq (keyakinan Syiah, red) dan menutupi diri dalam meyakininya, berkamuflase di hadapan para penentang (orang-orang yang berseberangan dalam keyakinan) dan tidak mengusik mereka dengan apa saja yang akan menyebabkan bahaya bagi agama dan dunia (orang-orang Syiah).
Yusuf al-Bahrâni (tokoh Syiah abad 12 H) berkata, “Maksudnya menampakkan kesamaan sikap dengan para penentang dalam apa yang mereka yakini karena takut kepada mereka.”
Al-Khumaini berkata: “Taqiyah artinya seseorang mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan realita atau melakukan sesuatu yang berseberangan dengan aturan syariah guna menyelamatkan nyawa, kehormatan atau kekayaannya.” [1]
Melalui tiga definisi taqiyah dari tiga Ulama besar Syiah dapat disimpulkan bahwa:
1. Makna taqiyah adalah seseorang menampakkan sesuatu yang berbeda dengan hatinya di hadapan orang lain
2. Dipraktekkan di hadapan para penentang mereka sehingga seluruh kaum Muslimin masuk dalam kategori ini (para penentang mereka).
3. Taqiyah dilakukan dalam urusan yang berkaitan dengan praktek agama orang-orang yang berseberangan dengan mereka
4. Taqiyah dilakukan karena rasa takut, ingin memelihara agama, jiwa dan harta.[2]
BEBERAPA RIWAYAT TENTANG KEDUDUKAN TAQIYAH
Terdapat banyak riwayat versi Syiah dalam kitabkitab induk mereka yang menunjukkan tingginya kedudukan akidah taqiyah ini.
Al-Kulîni (seorang Ulama Syiah) meriwayatkan perkataan Ja’far ash-Shâdiq yang berbunyi:
التَّقِيّضةُ دِيْنِيْ وَدِيْنُ آبَاءِيْ، لاَإِيْمَا ن لِمنْ لاَتقِيَّةَ لَهُ
Taqiyah adalah agamaku dan agama moyangku. Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak melakukan taqiyah
Abu ‘Abdillâh berkata: “Sesungguhnya Sembilan persepuluh dari agama terdapat dalam taqiyah. Tidak ada agama bagi orang yang tidak bertaqiyah” [al-Khishâl,Ibnu Bâbuyah al-Qummi, 1/25].
Al-Bâqir berkata: “Akhlak terbaik para imam dan orang-orang terkemuka Syiah adalah bertaqiyah.” [al-Ushûl al-Ashîlah hal. 324].
Dalam al-Mahâsin, (sebuah rujukan Syiah) diriwayatkan dari Habîb bin Basyîr dari Abu ‘Abdillâh, ia berkata: “Demi Allah Azza wa Jalla, tidak ada di muka bumi ini yang lebih aku cintai daripada taqiyah. Habîb, orang yang melakukan taqiyah, akan diangkat derajatnya oleh Allah Azza wa Jalla. dan orang yang tidak melakukan taqiyah, Allah Azza wa Jalla akan menghinakannya.” [al-Mahâsin: 259].
Secara nyata, mereka memberlakukan akidah taqiyah di seluruh kondisi. Dalam ibadah umpamanya; tidaklah mereka mengerjakan shalat dengan kaum Muslimin kecuali dalam rangka menjalankan akidah taqiyah, yang dalam bahasa lain adalah untuk memperdayai dan menipu kaum Muslimin agar perbedaan tajam yang ada pada keyakinan Syiah tidak tampak. [3]
Dalam masalah bersumpah, Ulama mereka memperbolehkan mengeluarkan sumpah-sumpah dusta, tanpa perlu membatalkan atau membayar kafarahnya.
KEBATILAN PRINSIP TAQIYAH
Pernyataan-pernyataan di atas sudah bukan barang aneh lagi bagi Ahli Sunnah. Pasalnya, landasan agama Syiah memang adalah dusta dan tipu-daya. Semua yang mereka yakini tidak berasaskan dalil-dalil syar’i. Pijakan mereka hanyalah kemunafikan dan kebohongan.
Syaikh DR Ibrâhim ar-Ruhaili hafizhahullâh mengomentari riwayat-riwayat di atas dengan berkata: “Riwayat-riwayat itu menunjukkan bagaimana kedudukan taqiyah dalam pandangan mereka dan derajatnya yang agung dalam agama mereka. Sebab taqiyah menurut Syiah termasuk prinsip agama yang terpenting. Tidak ada keimanan sempurna bagi orang yang tidak bertaqiyah. Orang yang meninggalkan taqiyah, laksana meninggalkan shalat. Bahkan taqiyah itu melebihi seluruh rukun Islam. Taqiyah mewakili Sembilan persepuluh agama mereka. Sementara rukun-rukun Islam dan kewajiban-kewajiban lain hanya terletak pada sepersepuluh bagian yang tersisa saja.” [4]
Syaikhul Islam rahimahullah memaparkan: “Sebagaimana (telah dimaklumi), mereka orang yang paling buta terhadap ayat-ayat al-Qur`ân, hadits-hadits dan atsar dan paling tidak tahu bagaimana cara memilah-milah antara dalil yang shahîh dan yang lemah. Pijakan mereka dalam dalildalil naqli adalah sejarah yang terputus sanadnya. Bahkan kebanyakan riwayat itu berasal dari orang-orang yang telah dikenal akan kedustaan dan bahkan juga kekufurannya. Ulama mereka berpegangan pada riwayat seperti Abu Mikhnaf, Luth bin Yahya, Hisyâm bin Muhammad bin Sâib dan orang-orang lainnya yang kedustaannya sudah tidak asing lagi di kalangan Ulama (Islam). Anehnya, orangorang seperti mereka itu merupakan orang-orang itu penting bagi Syiah dalam urusan riwayat…”
Menampakkan diri dengan sesuatu yang tidak diyakini dan dikerjakan oleh seseorang bukanlah sifat kaum mukminin. Tetapi, bagian dari karakter kaum munafikin. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَىٰ شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ
Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, “Kami telah beriman.” Dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan, “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu. Kami hanyalah berolok-olok.” [al-Baqarah:2/14]
Allah Azza wa Jalla berfirman:
يَقُولُونَ بِأَفْوَاهِهِم مَّا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ
Mereka (orang-orang yang munafik) mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. [Ali Imrân:3/167]
PENUTUP
Setiap orang yang mempunyai akal akan memahami konsekuansi akidah taqiyah. Sebab, pada hakekatnya, taqiyah merupakan intisari dari kemunafikan dan kebohongan. Akibatnya, tidak tampak perbedaan antara seorang Mukmin dan kafir, orang shalih dan orang jelek, orang jujur dan orang dusta, seorang rasul dan dukun. Selanjutnya, prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya akan lenyap. Sebab, Syiah mengharuskan seseorang untuk menggunakan taqiyah dalam segala kondisi. Menjadi seorang Yahudi saat berinteraksi dengan orang Yahudi, menjadi Nashrani saat bersama orang Nashrani dan seterusnya. Meski demikian, mereka menganggap diri sebagai kaum Mukminin dan menilai orang di luar mereka sebagai orang-orang murtad dan munafik. Padahal mereka lebih pantas berjuluk dengan sebutan itu, sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah [Minhâjus Sunnah 1/85, 69]
Dalam al-Qur’ân, berbicara dengan lisan yang berbeda dengan isi hati termasuk karakter kaum Munafikin, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :
يَقُولُونَ بِأَفْوَاهِهِم مَّا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ ۗ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يَكْتُمُونَ
mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. dan Allah lebih mengetahui dalam hatinya. dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.[Ali Imran/3:167]
Wallahu A’lam.
RUJUKAN:
1. Badzlul Majhûd Fî Itsbâti Musyâbahatir Râfidhah bil Yahûd, DR. Ibrâhîm ar-Ruhaili, Maktabar Ghurabâ‘ Th. III 1419H.
2.Tanâquhu Ahlil Ahwâ wal Bida’ DR. Afâf binti Hasan bin Muhammad Mukhtâr Maktabar ar-Rusyd (1/213-215).
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Atas dasar itu, adu argumentasi atau debat dengan mereka sulit akan membuahkan hasil. Karena mereka akan menyangkal segala yang dialamatkan kepada mereka.
[2]. Badzlul Majhûd 2/638
[3]. Syaikh Ibrâhim ar-Ruhaili berkata: “Sebenarnya kami tidak mengetahui apakah perbedaan antara mereka dan kaum Munafikin. Sebab, dahulu kaum Munafikin mengerjakan shalat dan menampakkan diri di hadapan kaum Muslimin dengan amal shaleh.” (Badzlul Majhûd 2/246). Dan Syaikh DR. Abdul Azîz ash-Shâ’idi, dosen Jâmiah Islamiyyah Madinah pernah menceritakan bahwa tokoh agama Syiah pernah meminta jamaahnya tetap berada di Masjidil Haram untuk mengerjakan shalat agar tidak menimbulkan kecurigaan orang. Sebab mereka di waktu adzan dikumandangkan justru keluar dari masjid. Ketika menimbulkan kegaduhan dan pandangan sekeliling mengarah kepada mereka, sang tokoh pun melarang jamaah keluar masjid dan tetap menjalankan shalat
bersama imam (melakukan taqiyah)
Oleh
Ustadz Abu Minhal
Baca
artikel selengkapnya di SYIAH
INDONESIA tafhadol
TAQIYAH, RUKUN AGAMA SYIAH
Akidah taqiyah termasuk akidah Syiah yang menyelisihi Islam. Akidah ini menempati kedudukan yang tinggi dalam agama mereka. Menurut mereka, para nabi dan rasul pun diperintahkan untuk melakukannya.
Ulama Syiah telah menjelaskan definisi taqiyah ini. al-Mufîd dalam Tash-hîhul I’tiqâd berkata: “Taqiyah adalah merahasiakan al-haq (keyakinan Syiah, red) dan menutupi diri dalam meyakininya, berkamuflase di hadapan para penentang (orang-orang yang berseberangan dalam keyakinan) dan tidak mengusik mereka dengan apa saja yang akan menyebabkan bahaya bagi agama dan dunia (orang-orang Syiah).
Yusuf al-Bahrâni (tokoh Syiah abad 12 H) berkata, “Maksudnya menampakkan kesamaan sikap dengan para penentang dalam apa yang mereka yakini karena takut kepada mereka.”
Al-Khumaini berkata: “Taqiyah artinya seseorang mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan realita atau melakukan sesuatu yang berseberangan dengan aturan syariah guna menyelamatkan nyawa, kehormatan atau kekayaannya.” [1]
Melalui tiga definisi taqiyah dari tiga Ulama besar Syiah dapat disimpulkan bahwa:
1. Makna taqiyah adalah seseorang menampakkan sesuatu yang berbeda dengan hatinya di hadapan orang lain
2. Dipraktekkan di hadapan para penentang mereka sehingga seluruh kaum Muslimin masuk dalam kategori ini (para penentang mereka).
3. Taqiyah dilakukan dalam urusan yang berkaitan dengan praktek agama orang-orang yang berseberangan dengan mereka
4. Taqiyah dilakukan karena rasa takut, ingin memelihara agama, jiwa dan harta.[2]
BEBERAPA RIWAYAT TENTANG KEDUDUKAN TAQIYAH
Terdapat banyak riwayat versi Syiah dalam kitabkitab induk mereka yang menunjukkan tingginya kedudukan akidah taqiyah ini.
Al-Kulîni (seorang Ulama Syiah) meriwayatkan perkataan Ja’far ash-Shâdiq yang berbunyi:
التَّقِيّضةُ دِيْنِيْ وَدِيْنُ آبَاءِيْ، لاَإِيْمَا ن لِمنْ لاَتقِيَّةَ لَهُ
Taqiyah adalah agamaku dan agama moyangku. Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak melakukan taqiyah
Abu ‘Abdillâh berkata: “Sesungguhnya Sembilan persepuluh dari agama terdapat dalam taqiyah. Tidak ada agama bagi orang yang tidak bertaqiyah” [al-Khishâl,Ibnu Bâbuyah al-Qummi, 1/25].
Al-Bâqir berkata: “Akhlak terbaik para imam dan orang-orang terkemuka Syiah adalah bertaqiyah.” [al-Ushûl al-Ashîlah hal. 324].
Dalam al-Mahâsin, (sebuah rujukan Syiah) diriwayatkan dari Habîb bin Basyîr dari Abu ‘Abdillâh, ia berkata: “Demi Allah Azza wa Jalla, tidak ada di muka bumi ini yang lebih aku cintai daripada taqiyah. Habîb, orang yang melakukan taqiyah, akan diangkat derajatnya oleh Allah Azza wa Jalla. dan orang yang tidak melakukan taqiyah, Allah Azza wa Jalla akan menghinakannya.” [al-Mahâsin: 259].
Secara nyata, mereka memberlakukan akidah taqiyah di seluruh kondisi. Dalam ibadah umpamanya; tidaklah mereka mengerjakan shalat dengan kaum Muslimin kecuali dalam rangka menjalankan akidah taqiyah, yang dalam bahasa lain adalah untuk memperdayai dan menipu kaum Muslimin agar perbedaan tajam yang ada pada keyakinan Syiah tidak tampak. [3]
Dalam masalah bersumpah, Ulama mereka memperbolehkan mengeluarkan sumpah-sumpah dusta, tanpa perlu membatalkan atau membayar kafarahnya.
KEBATILAN PRINSIP TAQIYAH
Pernyataan-pernyataan di atas sudah bukan barang aneh lagi bagi Ahli Sunnah. Pasalnya, landasan agama Syiah memang adalah dusta dan tipu-daya. Semua yang mereka yakini tidak berasaskan dalil-dalil syar’i. Pijakan mereka hanyalah kemunafikan dan kebohongan.
Syaikh DR Ibrâhim ar-Ruhaili hafizhahullâh mengomentari riwayat-riwayat di atas dengan berkata: “Riwayat-riwayat itu menunjukkan bagaimana kedudukan taqiyah dalam pandangan mereka dan derajatnya yang agung dalam agama mereka. Sebab taqiyah menurut Syiah termasuk prinsip agama yang terpenting. Tidak ada keimanan sempurna bagi orang yang tidak bertaqiyah. Orang yang meninggalkan taqiyah, laksana meninggalkan shalat. Bahkan taqiyah itu melebihi seluruh rukun Islam. Taqiyah mewakili Sembilan persepuluh agama mereka. Sementara rukun-rukun Islam dan kewajiban-kewajiban lain hanya terletak pada sepersepuluh bagian yang tersisa saja.” [4]
Syaikhul Islam rahimahullah memaparkan: “Sebagaimana (telah dimaklumi), mereka orang yang paling buta terhadap ayat-ayat al-Qur`ân, hadits-hadits dan atsar dan paling tidak tahu bagaimana cara memilah-milah antara dalil yang shahîh dan yang lemah. Pijakan mereka dalam dalildalil naqli adalah sejarah yang terputus sanadnya. Bahkan kebanyakan riwayat itu berasal dari orang-orang yang telah dikenal akan kedustaan dan bahkan juga kekufurannya. Ulama mereka berpegangan pada riwayat seperti Abu Mikhnaf, Luth bin Yahya, Hisyâm bin Muhammad bin Sâib dan orang-orang lainnya yang kedustaannya sudah tidak asing lagi di kalangan Ulama (Islam). Anehnya, orangorang seperti mereka itu merupakan orang-orang itu penting bagi Syiah dalam urusan riwayat…”
Menampakkan diri dengan sesuatu yang tidak diyakini dan dikerjakan oleh seseorang bukanlah sifat kaum mukminin. Tetapi, bagian dari karakter kaum munafikin. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَىٰ شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ
Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, “Kami telah beriman.” Dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan, “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu. Kami hanyalah berolok-olok.” [al-Baqarah:2/14]
Allah Azza wa Jalla berfirman:
يَقُولُونَ بِأَفْوَاهِهِم مَّا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ
Mereka (orang-orang yang munafik) mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. [Ali Imrân:3/167]
PENUTUP
Setiap orang yang mempunyai akal akan memahami konsekuansi akidah taqiyah. Sebab, pada hakekatnya, taqiyah merupakan intisari dari kemunafikan dan kebohongan. Akibatnya, tidak tampak perbedaan antara seorang Mukmin dan kafir, orang shalih dan orang jelek, orang jujur dan orang dusta, seorang rasul dan dukun. Selanjutnya, prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya akan lenyap. Sebab, Syiah mengharuskan seseorang untuk menggunakan taqiyah dalam segala kondisi. Menjadi seorang Yahudi saat berinteraksi dengan orang Yahudi, menjadi Nashrani saat bersama orang Nashrani dan seterusnya. Meski demikian, mereka menganggap diri sebagai kaum Mukminin dan menilai orang di luar mereka sebagai orang-orang murtad dan munafik. Padahal mereka lebih pantas berjuluk dengan sebutan itu, sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah [Minhâjus Sunnah 1/85, 69]
Dalam al-Qur’ân, berbicara dengan lisan yang berbeda dengan isi hati termasuk karakter kaum Munafikin, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :
يَقُولُونَ بِأَفْوَاهِهِم مَّا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ ۗ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يَكْتُمُونَ
mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. dan Allah lebih mengetahui dalam hatinya. dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.[Ali Imran/3:167]
Wallahu A’lam.
RUJUKAN:
1. Badzlul Majhûd Fî Itsbâti Musyâbahatir Râfidhah bil Yahûd, DR. Ibrâhîm ar-Ruhaili, Maktabar Ghurabâ‘ Th. III 1419H.
2.Tanâquhu Ahlil Ahwâ wal Bida’ DR. Afâf binti Hasan bin Muhammad Mukhtâr Maktabar ar-Rusyd (1/213-215).
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Atas dasar itu, adu argumentasi atau debat dengan mereka sulit akan membuahkan hasil. Karena mereka akan menyangkal segala yang dialamatkan kepada mereka.
[2]. Badzlul Majhûd 2/638
[3]. Syaikh Ibrâhim ar-Ruhaili berkata: “Sebenarnya kami tidak mengetahui apakah perbedaan antara mereka dan kaum Munafikin. Sebab, dahulu kaum Munafikin mengerjakan shalat dan menampakkan diri di hadapan kaum Muslimin dengan amal shaleh.” (Badzlul Majhûd 2/246). Dan Syaikh DR. Abdul Azîz ash-Shâ’idi, dosen Jâmiah Islamiyyah Madinah pernah menceritakan bahwa tokoh agama Syiah pernah meminta jamaahnya tetap berada di Masjidil Haram untuk mengerjakan shalat agar tidak menimbulkan kecurigaan orang. Sebab mereka di waktu adzan dikumandangkan justru keluar dari masjid. Ketika menimbulkan kegaduhan dan pandangan sekeliling mengarah kepada mereka, sang tokoh pun melarang jamaah keluar masjid dan tetap menjalankan shalat
bersama imam (melakukan taqiyah)
Post A Comment:
0 comments: